Kelima jarum itu ada pada telapak tangan saya.
Mereka begitu menggoda, seakan barkata, "Hayo, gunakan aku untuk menggariskan darah pada lenganmu."
Huf,
Saya suka rasa sakit seperti ini.
Karena rasanya lebih baik daripada sakit hati.
Namun setelah bertahun-tahun apakah harus tetap seperti ini?
Hahah!
Jika saya senang merasakan hal seperti itu. Lagi.
Memang justru tidak lagi sakit di hati, tapi malah menyebar ke seluruh diri.
Aih aih..
Kelima jarum itu tetap tak berhenti menggoda.
Kelimanya seakan berkata, "Halah! Peduli apa kamu sama diri? Sudah terlalu sakit itu kamu punya hati."
Ya. Memang betul begitu sakit saya punya ini hati.
Semua buat saya jenuh dan begitu ingin pergi.
Bikin saya bingung harus gimana lagi.
Hh..
Tapi, haaah!!
Terlalu banyak berprasangka pada kondisi.
Semua memang berawal dari diri.
Meski saya memutuskan untuk mengakhiri kembali pada diri, tapi harusnya tidak boleh begini. Tidak boleh ada sakit-sakitan lagi!
Saya berbisik pada kelompok-lima-jarum, "Hey, kamu memang pintar menggoda. Tapi yang seperti itu tidak lagi nyata. Karena yang paling nyata adalah pikiran saya. Pikiran baik tentunya. Yang bisa mengalahkan ini semua."
Dengan wajah simpati mereka berkata, "Hoho! Lalu apa kabar sakit hatimu? Bukankah itu juga dari pikiranmu? Kenapa justru kau jadikan penyebab sakit hati sebagai penawarmu?"
"Terima kasih wahai lima-jarum atas 'niat-baik'mu. Yaya, mungkin seperti itu awalnya, tapi dari sisi yang berbeda. Semua ini berawal dari saya, berefek ke sekitar saya, dan memberikan reaksi balik ke saya. Dan itu bisa jadi karena pikiran saya yang mengawali semua, atau pikiran saya hasil dari reaksi itu semua. Jika saya sudah sadar begini, buat apa lebih menyakiti diri? Sudah lelah untuk sakit lagi ini hati, buat apa tambah-tambah sakit fisik? Jadi, maaf ya jarum-jarum, saya tidak lagi butuh kalian. Saya hanya butuh pikiran baik saya untuk mengalahkan rasa sakitnya," jawab saya dengan tenang dan bahagia.
Si Lima-jarum lalu terdiam, tak lagi bicara, seolah mereka benda mati saja.
Saya menang! :)
Mereka begitu menggoda, seakan barkata, "Hayo, gunakan aku untuk menggariskan darah pada lenganmu."
Huf,
Saya suka rasa sakit seperti ini.
Karena rasanya lebih baik daripada sakit hati.
Namun setelah bertahun-tahun apakah harus tetap seperti ini?
Hahah!
Jika saya senang merasakan hal seperti itu. Lagi.
Memang justru tidak lagi sakit di hati, tapi malah menyebar ke seluruh diri.
Aih aih..
Kelima jarum itu tetap tak berhenti menggoda.
Kelimanya seakan berkata, "Halah! Peduli apa kamu sama diri? Sudah terlalu sakit itu kamu punya hati."
Ya. Memang betul begitu sakit saya punya ini hati.
Semua buat saya jenuh dan begitu ingin pergi.
Bikin saya bingung harus gimana lagi.
Hh..
Tapi, haaah!!
Terlalu banyak berprasangka pada kondisi.
Semua memang berawal dari diri.
Meski saya memutuskan untuk mengakhiri kembali pada diri, tapi harusnya tidak boleh begini. Tidak boleh ada sakit-sakitan lagi!
Saya berbisik pada kelompok-lima-jarum, "Hey, kamu memang pintar menggoda. Tapi yang seperti itu tidak lagi nyata. Karena yang paling nyata adalah pikiran saya. Pikiran baik tentunya. Yang bisa mengalahkan ini semua."
Dengan wajah simpati mereka berkata, "Hoho! Lalu apa kabar sakit hatimu? Bukankah itu juga dari pikiranmu? Kenapa justru kau jadikan penyebab sakit hati sebagai penawarmu?"
"Terima kasih wahai lima-jarum atas 'niat-baik'mu. Yaya, mungkin seperti itu awalnya, tapi dari sisi yang berbeda. Semua ini berawal dari saya, berefek ke sekitar saya, dan memberikan reaksi balik ke saya. Dan itu bisa jadi karena pikiran saya yang mengawali semua, atau pikiran saya hasil dari reaksi itu semua. Jika saya sudah sadar begini, buat apa lebih menyakiti diri? Sudah lelah untuk sakit lagi ini hati, buat apa tambah-tambah sakit fisik? Jadi, maaf ya jarum-jarum, saya tidak lagi butuh kalian. Saya hanya butuh pikiran baik saya untuk mengalahkan rasa sakitnya," jawab saya dengan tenang dan bahagia.
Si Lima-jarum lalu terdiam, tak lagi bicara, seolah mereka benda mati saja.
Saya menang! :)
0 comment:
Post a Comment